Minggu, 20 Mei 2012

Bertahan di Sistem “Jadul” PSC Migas


Rig Offshore
Berbagai sistem pengelolaan minyak dan gas di Indnesia pernah dilakukan. Melalaui serangkaian pengalama dan pahit getirnya mengelola hasil bumi yang muaranya diperuntukakn bagi kesejahterahan rakyat. Indonesia saat ini mencoba menggunakan  PSC (production sharing contract), setelah sebelumnya menggunakan system konsesi/royaly sebagai alternative tawaran bagi perusahaan migas yang ingin menggali potensi emas hitam di bumi nusantara.


Didunia internasional hanya mengenal dua pokok dalam menunjuk pada pihak ketiga untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas, yakni sistem konsessi/Royalti/lisensi dan system kontrak.

PSC (production sharing contract) adalah sistem atau model pengelolaan sumberdaya minyak dan gas bumi yang “lahir” dari pemikiran pendahulu kita. Bisa dikatakan, PSC ini produk jadul =jaman dulu dan “orisinal” bangsa kita. Sejak dicetuskan pada era 1960-an sistem ini dirasa cocok bagi Indonesia dan bertahan hingga saat ini.

Seiring waktu, sistem jadul (PSC) tersebut selanjutnya banyak negara memberlakukan kontrak ini, antara lain Mesir, Malaysia, Siria, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, China, Aljazair, dan Tumisu tentunya dengan varian yang berbeda.

Konon sistem PSC lahir dari ide presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno yang melihat ketidak adilan sistem royalty migas saat diterapkan pada zaman Belanda. Migas yang telah dikuras dari perut bumi, Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari royalty yang diberikan oleh perusahaan migas.

Melalui perenungan dan pemikiran yang di sandarkan pada UUD 19945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang berda di dalam perut bumi adalah miliki Negara dan harus dipergunakan sebesar-besranya bagi kemakmuran rakyat, Soekrano menelorkan dan merubah konsep sistem royalty migas ke sistem Paron=bagi hasil (dalam istilah petani) atau istilah kerennya PSC (production sharing contract).

Wartawan GE yang mendapat kesempatan mengikuti training dalam forum diskusi migas dari BPMIGAS, mendapat penjelasan seputar sistem kontrak antara perusahaan migas /Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan pemerintah yang diwakili oleh BPMIGAS.



Diungkapkan Didik Setiarto, bagian Hukum BPMIGAS,   Pada dasarnya, “resep” PSC diambil dari pola kerja sama dua orang petani dalam menggarap satu lahan. Satu orang sebagai pemilik lahan, satu orang lainnya sebagai penggarap. Hasil produksi padi dibagi dua: masing-masing mendapatkan setengah bagian (sistem paron).

“Sistem PSC itu sangat sederhana, ini diadopsi dari system paron yang ada di Indonesia buah pikir Soekarno. Sangat simple” ucapnya.

Karena itu, prinsip-prinsip kerjasama yang berlaku antara kedua orang petani itu juga berlaku dalam sistem PSC. Dalam konteks ini, negara bertindak sebagai ‘pemilik lahan’ dan kontraktor swasta (nasional maupun asing) sebagai penggarap atau tukang.

“Jadi pengusaha migas itu tak lebih dari seorang tukang dari system PSC ini”papar Didi  

Hal yang harus dipahami bersama dalam sistem PSC ini, pemerintah tidak pernah memberikan sejengkal lahan atau wilayah kerjanya pada pengusaha. Mutlak lahan atau wilyah kerja berada ditangan pemerintah. Beda dengan system royalty terdahulu dan pada dunia tambang, wilayah kerja dan kandungan mineral didalamnya adalah milik pengusaha, sehingga migas atau mineral yang ada didalamnya mutlak ditangan pengusaha dan pemerintah tidak boleh ikut campur terhadap apa yang dilakukan dalam berproduksi.

“Salah jika kontraktor itu disebutkan memilki wilayah kerja, mereka hanya penggarap, tidak lebih”tegas Didi.

Bahkan dalam sistem PSC, pengendalian operasional kerja berada di tangan pemerintah. Segala apa yang akan digunakan dalam produksi, kontrkator harus berkordinasi dengan pemerintah si empunya kuasa lahan.  

Mengapa Indonesia menggunakan sistem PSC bagi  perusahaan minyak, terutama bagi Negara asing, untuk mengolah Sumber Daya Migas dibandingkan mengelola sendiri atau BUMN?



Dengan keterbatasan dana (modal) dan ketrampilan saat itu, masih lebih menguntungkan jika Migas di berikan kepercayaan pada pihak luar untuk berinvestasi di Indonesia.

Industri minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan penuh ketidakpastian (resiko). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa didalam perut bumi terkandung minyak dan gas yang memiliki jumlah yang ekonomis.

Pada saat awal berdirinya republik, Negara belum memiliki modal dan teknologi untuk mencari dan mengelola migas sendiri. Oleh karena itu, pemerintah mengundang perusahaan asing untuk mengelola sumber daya migas di Indonesia. Diharapkan terjadi alih teknologi sehingga suatu saat bangsa ini bisa mengelola migas sendiri.

“Tidak bisa rumah kantor (rukan) terjun dalam bisnis ini. Modal yang dibutuhkan cukup besar dan belum tentu ada migasnya ketika pengelolaan wilyah kerja sudah dimenangkan tendernya”papar Didi.

Jika sudah dalam keadaan rugi, pemerintah tidak akan menanggung sepeserpun duit kontraktor yang baru berusaha melakukan pencarian sumur migas baru.

“Negara tidak menangung resiko dari dana yang telah dikeluarkan pengusaha. Dana baru diganti ketika telah ditemukan sumur dan layak ekonomis untuk dieksplorasi migasnya”.

Namun system mana yang digunakan oleh suatu negara dalam mengelola migasnya tentunya kembali pada pengawasan si empunya migas. Hingga kini masih banyak Negara yang menggunakan sistem royalti, namun pengelolaannya cukup bagus. Sedangkan untuk Indonseia yang menggunakan sistem PSC, dirasa masih juga butuh banyak perbaikan. Beberapa point cost recovery yang tidak bersentuhan langsung dengan upaya produksi harus dievaluasi. Kegiatan yang lebih beroreintasi pada kegiatan ekspatriat harusnya dihapuskan. Kegiatan community development (comdev) dan corporate social responsibility  (CSR) jangan pula dibebankan lagi pada pemerintah. Kontraktor juga butuh didorong untuk memiliki tanggung jawab solsal dengan menyumbang dari keuntungan bersih 15% bagi hasil pada kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Jika hal-hal ini bisa terealsisasikan, sistem jadul paron=PSC masih layak untuk di pertahankan, jika tidak silahkan pemerintah memutar otak kembali untuk mencari variasi sistem ideal bagi hasil migas kita. 
    




Ada beberapa hal keuntungan yang diperoleh dari sistem PSC ini, diantaranya;

Pertama, yang dibagi adalah hasil produksi (migas), bukan berupa uang hasil penjualan produksi migas. Dalam sistem PSC, sesuai dengan namanya: “production sharing”, maka yang dibagi antara negara dan kontraktor adalah ‘minyak’ atau ‘gas’nya itu sendiri, bukan uang hasil penjualan migas.

Ke dua, pengusaha (KKKS), Kontraktor menanggung seluruh biaya: dari mulai biaya memperoleh wilayah kerja (biaya join study atau joint evaluation), bonus tandatangan, biaya eksplorasi, biaya pengembangan serta biaya produksi hingga transportasi melalui pipa – sampai pada “titik pembagian”.

Ke tiga, Seluruh risiko ditanggung oleh kontraktor jika gagal  maka seluruh biaya menjadi tanggungan pengusaha migas. Pemilik lahan/negara tidak akan dimintai ganti rugi. Di dalam PSC, jika kontraktor tidak menemukan minyak atau gas, maka seluruh risiko ditanggung oleh kontraktor. Negara tidak ikut menanggung biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor.

Ke empat, seluruh sarana yang dibangun oleh kontraktor (KKKKS) tetap menjadi milik pemerintah. Dalam PSC seluruh peralatan atau instalasi migas menjadi milik negara, dari mulai fasilitas yang ada di sumur pemboran, pipa, kompresor, stasiun pengumpul minyak atau gas, dan sebagainya.


Ke lima, Di dalam PSC, negara tetap memegang kendali managemen migas. Kontraktor harus mengajukan program dan anggaran setiap tahun kepada pemerintah (BPMIGAS) untuk memperoleh persetujuan. Kapan sebuah lapangan migas bisa diproduksikan secara komersial (plan of development – POD), juga tetap menjadi kewenangan BPMIGAS.


Ke enam, Di dalam PSC standar, bagian bersih negara dan kontraktor masing-masing 85% dan 15%. Tetapi itu belum termasuk cost recovery (penggantian biaya) yang sudah diperoleh kontraktor. Jika memperhitungkan pengembalian biaya (dengan asumsi 30%), maka bagian negara vs kontraktor menjadi sekitar 60% : 40%. Tidak jauh beda dari pembagian sistem paron oleh petani yang konon 50%:50% pembagiannya.

Ke tujuh, kerjasama antara kontraktor (KKKS) dan pemilik lahan (Pemerintah) memiliki batas waktu. Biasanya 30 setahun setelah itu, lahan dikembalikan ke pemilik. Namun selanjutnya kontraktor boleh mengajukan perpanjangan kontrak ke pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar