Senin, 21 Mei 2012

Menguak Masa Depan Tambang Kita



Permasalahan Pertambangan di Indonesia kian kompleks. Seirama dengan bergulirnya otonomi daerah, dimana penguasa daerah gubernur, walikota dan bupati dapat mengeluarkan izin operasional pertambangan. Tiap daerah yang merasa kaya akan Sumber daya alam ini, pemerintah setempat berlomba-lomba mengeruk potensi SDA nya, guna meningkatkan pundi-pundi keuangan daerah dengan alasan mempercepat pembangunan  daerah.

Nafsu pemimpin daerah yang memberikan izin pertambangan tersebut  biasanya lantaran balas budi pada saat para investor memberikan financial pada saat sang calon pemimpin mencalonkan diri dalam pilkada. Kompensasi dari dukungan tersebut, dibarter dengan dipermudahnya izin mengeruk SDA di daerahnya jika si calon jadi bupati/walikota menang. Burgaining kepentingan ini yang tidak dapat dihindarkan.

Tak terkecuali daerah Kalimantan Timur, provinsi yang konon katanya sangat kaya akan SDA migas dan batu bara ini. Pada saat era kayu sudah berlalu, ratusan izin eksploitasi batu bara bermunculan. Deru alat berat merambah hutan-hutan hijau di bumi etam. Pohon besar dan kecil diatas tanah di gerus hingga ludes. Dikeruk, diangkut dan menyisakan ratusan lubang-lubang galian.

Untuk tahun ini, diungkapkan kan Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, provinsi Kaltim akan diterbitkan 500 izin tambang batu bara. Ada keinginan pemimpin daerah untuk mengeruk sumber daya alam semasif mungkin. Dengan otonomi daerah yang telah diberlakukan pusat tidak dapat berbuat banyak, lantaran aturan tugas kewenangan mengeluarkan izin tambang kini ada didaerah.

Hal tersebut  diatas, terungkap dalam diskusi yang digagas oleh wartawan AJI Balikpapan dengan tema Masa Depan Tambang dan Lingkungan. Semangat otonomi daerah yang  memberi keleluasan kebijakan pemimpin di daerah memanfaatkan SDA nya. Harusnya masih tetap mengedepankan peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, apakah layak perusahaan tambang beroperasi di daerahnya.

“Yang terpenting adanya izin masyarakat sekitar terhadap operasional perusahaan tambang. Dan masyarakat boleh menolak bila merasa keberatan”ujar wamen.

Jika dulu izin dikeluarkan pusat tampa harus melibatkan daerah dan masyarakat sekitar, saat in peran kementrian ESDM hanya berupa pemetaan terhadap suatu kawasan yang hendak di ajukan untuk di eksploitasi. Pada saat otonomi daerah diberlakukan, mulai dari situ izin-izin pertambangan mulai dikeluarkan oleh kebijakan bupati atau walikota.

“Tugas pusat hanya memetakan kawasan, jika tidak ada tumpang tindih di rekomendasaikan. Izin operasional tetap ada di daerah”ujarnya.

Tapi menurut wamen, belum terlambat untuk berbuat. Tanpa harus menarik lagi kebijakan izin tambang ke pusat. Kearifan pemimpin didaerah dalam mengeluarkan izin tambang harus diawasi. Peran media, LSM  dan masyarakat harus diperkuat.

Peristiwa demonstrasi oleh masyarakat yang berujung anarkis dan memakan korban jiwa di berbagai daerah menolak hadirnya tambang, harus  menjadi pelajaran bagi pemimpin daerah. Sehingga peristiwa tersebut jangan sampai terulang kembali 

Izin tambang yang dikeluarkan oleh sejumlah kepala daerah  berbau politis secara lugas juga diungkapkan oleh Pakar Ekonom Universitas Gajah Mada, Revrison Baswir. Dia yang kerap kali melihat tumbuh berkembangnya pertambangan di Indonesia khususnya di Kaltim, menilai adanya dukungan investor pada calaon-calon tetentu pada saat Pilkada.

“Dukungan investor pada calon pada saat Pilkada pasti ada maunya, dan itu bukan lagi rahasia umum. Sehingga jangan heran ketika pemimpin daerah terbelenggu dan tunduk pada pengusaha”ujar Revrison.

Bahkan menurutnya, elit politisi yang ada saat ini sudah menjadikan tambang menjadi bagian dari bisnisnya. Sehingga jangan heran kalau mereka jarang bicara mengenai reklamasi lingkungan dan kesejahterahan masyarakat sekitar.

“Silahkan survey siapa elit politik yang saat ini tidak main pertambangan”selidik Revrison.  


Devisi Hukum LSM  Jaringan Tambang (Jatam) Merah Johansyah yang hadir pula dalam diskusi tersebut memaparkan kondisi kekinian tambang di Kaltim.  Dari data yang dihimpun pada 2011-2012 di kota Samarinda saja sudah sebanyak 6 orang korban jiwa yang telah merengguta nyawa di  lubang galian tambang batu bara.
Dijelaskan dia, 71 persen Kota Samarinda telah dikapling perusahaan tambang. Dari 71.800 hektare luas Kota Samarinda, sekitar 50.742,76 hektare dikuasai perusahaan pertambangan batubara. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) menyebut 150 lubang bekas pertambangan dibiarkan begitu saja menganga. Ironisnya kendati telah menyebabkan adanya korban jiwa, tidak ada sanksi bagi perusahaan tambang yang yang tidak bertanggung jawab menutup lubang itu.
Pada tahun 2005 hanya terdapat 38 izin pertambangan di Samarinda. Luas wilayah yang dikuasai perusahaan pertambangan sekitar 20.323 hektare. Tahun 2009 jumlah izin pertambangan meningkat menjadi 76 izin dengan luas daerah operasi 50.742,76 hektare.


Akibatnya daerah resapan air di Samarinda berkurang. Saat ini diperkirakan luas daerah resapan air hutan hanya 1,05 persen atau sekitar 691,11 hektare dari 71.800 hektare luas Kota Samarinda.


Bahkan besama LSM lainnya, pihaknya sedang berjuang melakukan class action pada pemerintah Samarinda yang diduga melakukan pemberian izin pada perusahaan tambang yang tidak bertanggung jawab, melalui Gerakan Samarinda Menggugat (GSM). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar