Kamis, 24 Mei 2012

Mengenang Wamen


Kesederhanaan dari sosok pejabat ini yang sangat lekat kuperhatikan, selain rambutnya yang nyentrik=bukan nyender ditiang listrik, lantaran gondrong dan membuatnya jauh dari kesan seoarang pejabat.

Awal aku bertemu saat dia menjadi nara sumber dalam petemuan dengan wartawan pemerhati energi migas di Jakarta pada 2010 lalu. Dia saat itu masih menjadi seorang guru besar di ITB. Namun beberap bulan kemudian ia diangkat menjadi wakil menteri energi sumber daya dan mineral (ESDM).

Ya, ia adalah Widjajono Partowidagdo yang kini bukan sekedar seorang dosen atau guu besar, ia adalah pejabat Negara. Namun keseharian dalam kesederhanaan sebagai pejabat Negara tak pernah ia tanggalkan. Sebagai wakil menteri ternyata tidak mampu melepaskan jati dirinya dari seorang pria lugas dan bersahaja.


Kebersahajaan dan kegigihan mempertahankan penampilan eksetriknya mungkin tak lepas dari masa muda dan hobynya yang selalu bersentuhan dengan alam. Mendaki gunung menjadi hoby yang sulit ia tanggalkan hingga kini. Sehingga untuk mematrikan sejumlah gunung yang ia pernah daki, ia “pahatkan” pada nama putrinya “Kristal” Amalia = Kerici, Rinjani, Semeru, Tujuh dan Latimojong.

Pertemuan kami kedua dengannya  dalam acara garapan aliansi Jurnalis Independen Balikpapan di hotel grand Tiga Mustika Balikpapan. Gaya bicara dan kelugasannya belum juga hilang. Diungkapkannya,  pendapatan yang diterima setelah menjadi menteri lebih berkurang ketimbang ia menjadi guru besar dan menjadi narasumber diberbagai seminar serta jabatan lainnya.

Pilihan hidup sebagai wamen ia ambil lantaran keinginannya ingin segera merealisasikan segala gagasan yang kerap ia ucapkan dan berbagai buah buku yang ia terbitkan. Namun menjadi menteri membuatnya tak gesit untuk bertindak dan leluasa untuk berkata. Semua diatur dalam keprotokalan yang tak pernah ia temukan dalam keseharian. Kekuasaan mungkin membuatnya terkungkung, namun ia belum menyerah dan terus berupaya mendobrak.

Yang menarik pula dalam sebuah acara talkshow Indonesia lawyer club di TV one, Wamen nampak sedikit emosi merespon tanggapan peserta. Namun emosi berbalut argumentasi kecerdasaan ternyata adalah sebuah bukti komitmen ide yang ingin direalisasikan, ia butuh penegasan melalui olah kata.

Bahkan konon dalam sebuah acara dengar pendapat dengan DPR RI dan kementrian ESDM, Wamen satu ini pernah ditegur lantaran hoby memotret dia aktualisasikan didalam pertemuan tersebut. Sejumlah anggota DPR RI, ia jeprat-jepret dalam momentum kenegaraan. Sebuah lakon yang unik dari tokoh yang nyentrik.

Dalam acara di Balikpapan, Wamen juga tak canggung mengeluarkan kamera digital poket dari tasnya untuk memotret orang-orang yang ia kehendaki. Bahkan uniknya, Wamen sendiri terkadang mengajak orang-orang disekitarnya untuk berbarengan dipoto bersamanya.

Berbalut kemeja biru yang warnanya telah memudar dan celana panjang berwarna crem yang jauh dari kata baru dan sangat sederhana, aku abadikan kebersamaanku dengan Wamen. Ini ternyata adalah momentum terakhirku bertemu dengannya. Sebulan setelah momentum itu. Dalam pendakian gunung, Wamen menghembuskan nafas terakhir. Alam tak ingin berpisah dari pria sederhana itu.

Kesederhanaanmu adalah kejujuran yang alam butuhkan, bersinergi dalam kesejukan gunung, bukit dan hutan. Mungkin Alam ingin menjauhkanmu dari kekuasaan yang penuh kedustaan. Karena alam tak pernah dusta bagi seisinya, hanya insan jujur yang layak melebur dengannya.

Selamat jalan Wamen, dengan kesederhanaanmu meleburlah dengan alam. Ide dan gagasanmu semoga menjadi solusi terbaik untuk negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar