Profesi wartawan bukan cita-cita baginya, namun sebuah
panggilan jiwa yang membawanya hingga bertahan sampai saat ini menggeluti dunia
tulis menulis. Bagi Syarifudin Ryo, (32), profesi yang kini menjadi bagian
hidupnya banyak memberi warna tersendiri dan pengembangan wawasan. Bertemu
semua kalangan dari pejabat hingga pejahat pernah di jumpainya, membuatnya
lebih banyak memahami karakter manusia.
Menurut pria yang kini memiliki 2 buah hati ini, awal karir jurnalistiknya dari sebuah majalah
religi Hidayatullah. Bahkan ia pernah mencicipi koresponden di stasiun televisi
Indosiar untuk wilayah Balikpapan .
Dengan bekal pengalaman di sejumlah media tersebut, dirinya dipercaya untuuk
mengelola Tabloid Manuntung yang beredar khusus di Balikpapan .
Demi kecintaannya pada profesi wartawan ini, dirinya harus
rela menempuh perjalan lebih dari 56 kilometer dari kediamannya didaerah
perbatasan Balikpapan
– Kutaikartanegara setiap harinya. Sehingga tak heran Ryo begitu panggilan
akrabnya, baru bertemu rekan-rekan sesama wartawan ketika matahari sudah diatas
kepala.
“Kalau pagi saya harus antar jemput anak dulu, baru
liputan”terangnya.
Namun hebatnya, walau baru siang berada dilapangan ia tak
pernah ketinggalan isu hangat untuk liputan di medianya. Selain dekat dengan
para anggota legislativ, beberapa narasumber kompten di Balikapapn cukup akrab
dengan lelaki yang juga kini didaulat sebagai ketua Ikatean Wartawan Balikpapan
(IWB).
Dekat dengan nara
sumber bukan berarti berita baik selalu ia sajikan. Bahkan tulisan yang
dimuatnya malah cenderung membuat beberapa pihak “meriang”. Bahkan tak jarang
ia harus berhadapan dengan pihak lain yang digunakan pejabat yang tak suka
dengan tulisannhya.
“Saya tidak suka dengan pejabat yang tidak mau dikritik, kalau
tidak mau dikritik ya jangan jadi pejabat” ujarnya.
Kepekaaannya terhadap sesama isan pers mengantarkan ia
dipercaya beberapa wartawan di Balikpapan untuk
menahkodai perkumpulan wartawan lokal di Balikpapan .
Saling belajar dan sharing masalah
dilapangan selalu menjadi khas dalam setiap pertemuan di sekretariat IWB.
Bahkan beberapa kali organisasinya mengundang Dewan Pers dalam kegiatan diskusi
dan seminar.
Wartawan harus cerdas dan jangan sampai puas dengan wawasan
yang dimiliki. Selalu perlu belajar dan meningkatan kompetensi. Begitu ia
jelaskan idenya ketika setiap kali ingin menggelar diskusi atau seminar
mengundang ahli di bidang pers.
Dari beberapa penggal ceritanya, hanya satu yang mampu membekas. Dia mampu melakoni rutinitas menempuh 56 Km tiapa hari, mungkin diliputi jenuh dan juga peluh. Yang pasti dari semua itu adalah sebuah penggilan profesi yang menguatkan hati. Atau tiada profesi lain sebagai pilihan mencari sesuap nasi.
Yang pasti jarak 56 Km buat ku bukan waktu tempuh yang pendek, apalagi harus menjadi sarapan saban hari. Jika hidup adalah sebuah perjuangan, pasti ia juga membutuh tujuan. Terkadang apa yang kita lakukan perlu sebanding dengan apa yang kita terima sebagai buah imbalan dari perjuangan keras, bukan hanya sekedar dedikasi sebagai balasan dan ungkapan penyejuk.
catatan sebuah tugas dalam menempuh Uji kompetensi Jurnalistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar