Rabu, 23 Mei 2012

Tempuh 56 Km Perhari



Profesi wartawan bukan cita-cita baginya, namun sebuah panggilan jiwa yang membawanya hingga bertahan sampai saat ini menggeluti dunia tulis menulis. Bagi Syarifudin Ryo, (32), profesi yang kini menjadi bagian hidupnya banyak memberi warna tersendiri dan pengembangan wawasan. Bertemu semua kalangan dari pejabat hingga pejahat pernah di jumpainya, membuatnya lebih banyak memahami karakter manusia.

Menurut pria yang kini memiliki 2 buah hati ini,  awal karir jurnalistiknya dari sebuah majalah religi Hidayatullah. Bahkan ia pernah mencicipi koresponden di stasiun televisi Indosiar untuk wilayah Balikpapan. Dengan bekal pengalaman di sejumlah media tersebut, dirinya dipercaya untuuk mengelola Tabloid Manuntung yang beredar khusus di Balikpapan.

Demi kecintaannya pada profesi wartawan ini, dirinya harus rela menempuh perjalan lebih dari 56 kilometer dari kediamannya didaerah perbatasan Balikpapan – Kutaikartanegara setiap harinya. Sehingga tak heran Ryo begitu panggilan akrabnya, baru bertemu rekan-rekan sesama wartawan ketika matahari sudah diatas kepala.

“Kalau pagi saya harus antar jemput anak dulu, baru liputan”terangnya.


Namun hebatnya, walau baru siang berada dilapangan ia tak pernah ketinggalan isu hangat untuk liputan di medianya. Selain dekat dengan para anggota legislativ, beberapa narasumber kompten di Balikapapn cukup akrab dengan lelaki yang juga kini didaulat sebagai ketua Ikatean Wartawan Balikpapan (IWB).

Dekat dengan nara sumber bukan berarti berita baik selalu ia sajikan. Bahkan tulisan yang dimuatnya malah cenderung membuat beberapa pihak “meriang”. Bahkan tak jarang ia harus berhadapan dengan pihak lain yang digunakan pejabat yang tak suka dengan tulisannhya.

“Saya tidak suka dengan pejabat yang tidak mau dikritik, kalau tidak mau dikritik ya jangan jadi pejabat” ujarnya.

Kepekaaannya terhadap sesama isan pers mengantarkan ia dipercaya beberapa wartawan di Balikpapan untuk menahkodai perkumpulan wartawan lokal di Balikpapan. Saling belajar dan sharing masalah dilapangan selalu menjadi khas dalam setiap pertemuan di sekretariat IWB. Bahkan beberapa kali organisasinya mengundang Dewan Pers dalam kegiatan diskusi dan seminar.

Wartawan harus cerdas dan jangan sampai puas dengan wawasan yang dimiliki. Selalu perlu belajar dan meningkatan kompetensi. Begitu ia jelaskan idenya ketika setiap kali ingin menggelar diskusi atau seminar mengundang ahli di bidang pers.

Dari beberapa penggal ceritanya, hanya satu yang mampu membekas. Dia mampu melakoni rutinitas menempuh 56 Km tiapa hari, mungkin diliputi jenuh dan juga peluh. Yang pasti dari semua itu adalah sebuah penggilan profesi  yang menguatkan hati. Atau tiada profesi lain sebagai pilihan mencari sesuap nasi.

Yang pasti jarak 56 Km buat ku bukan waktu tempuh yang pendek, apalagi harus menjadi sarapan saban hari. Jika hidup adalah sebuah perjuangan, pasti ia juga membutuh tujuan. Terkadang apa yang kita lakukan perlu sebanding dengan apa yang kita terima sebagai buah imbalan dari perjuangan keras, bukan hanya sekedar dedikasi sebagai balasan dan ungkapan penyejuk. 

Baginya profesi wartawan adalah kecintaan tersendiri. Walau jauh dari kemapanan, panggilanya jiwanya telah terpatri untuk menjadi bagian dari kontrol social yang selalu dicita-citakan. Walau untuk melakoni semua itu, ia harus menempuh jarak lebih 56 kilo meter perhari dan pulang larut malam bertemu anak istri.


catatan sebuah tugas dalam menempuh Uji kompetensi Jurnalistik 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar