Permasalahan Pertambangan di
Indonesia kian kompleks. Seirama dengan bergulirnya otonomi daerah, dimana
penguasa daerah gubernur, walikota dan bupati dapat mengeluarkan izin
operasional pertambangan. Tiap daerah yang merasa kaya akan Sumber daya alam ini,
pemerintah setempat berlomba-lomba mengeruk potensi SDA nya, guna meningkatkan
pundi-pundi keuangan daerah dengan alasan mempercepat pembangunan daerah.
Nafsu pemimpin daerah yang
memberikan izin pertambangan tersebut
biasanya lantaran balas budi pada saat para investor memberikan financial pada saat sang calon pemimpin
mencalonkan diri dalam pilkada. Kompensasi dari dukungan tersebut, dibarter
dengan dipermudahnya izin mengeruk SDA di daerahnya jika si calon jadi bupati/walikota
menang. Burgaining kepentingan ini yang
tidak dapat dihindarkan.
Tak terkecuali daerah
Kalimantan Timur, provinsi yang konon katanya sangat kaya akan SDA migas dan
batu bara ini. Pada saat era kayu sudah berlalu, ratusan izin eksploitasi batu
bara bermunculan. Deru alat berat merambah hutan-hutan hijau di bumi etam.
Pohon besar dan kecil diatas tanah di gerus hingga ludes. Dikeruk, diangkut dan
menyisakan ratusan lubang-lubang galian.
Untuk tahun ini, diungkapkan
kan Wakil Menteri
ESDM, Widjajono Partowidagdo, provinsi Kaltim akan diterbitkan 500 izin tambang
batu bara. Ada
keinginan pemimpin daerah untuk mengeruk sumber daya alam semasif mungkin. Dengan
otonomi daerah yang telah diberlakukan pusat tidak dapat berbuat banyak,
lantaran aturan tugas kewenangan mengeluarkan izin tambang kini ada didaerah.
Hal tersebut diatas, terungkap dalam diskusi yang digagas
oleh wartawan AJI Balikpapan dengan tema Masa
Depan Tambang dan Lingkungan. Semangat otonomi daerah yang memberi keleluasan kebijakan pemimpin di
daerah memanfaatkan SDA nya. Harusnya masih tetap mengedepankan peran
masyarakat dalam pengambilan keputusan, apakah layak perusahaan tambang
beroperasi di daerahnya.
“Yang terpenting adanya izin
masyarakat sekitar terhadap operasional perusahaan tambang. Dan masyarakat
boleh menolak bila merasa keberatan”ujar wamen.
Jika dulu izin dikeluarkan
pusat tampa
harus melibatkan daerah dan masyarakat sekitar, saat in peran kementrian ESDM hanya
berupa pemetaan terhadap suatu kawasan yang hendak di ajukan untuk di
eksploitasi. Pada saat otonomi daerah diberlakukan, mulai dari situ izin-izin
pertambangan mulai dikeluarkan oleh kebijakan bupati atau walikota.
“Tugas pusat hanya memetakan
kawasan, jika tidak ada tumpang tindih di rekomendasaikan. Izin operasional
tetap ada di daerah”ujarnya.
Tapi menurut wamen, belum
terlambat untuk berbuat. Tanpa harus menarik lagi kebijakan izin tambang ke
pusat. Kearifan pemimpin didaerah dalam mengeluarkan izin tambang harus
diawasi. Peran media, LSM dan masyarakat
harus diperkuat.
Peristiwa demonstrasi oleh
masyarakat yang berujung anarkis dan memakan korban jiwa di berbagai daerah
menolak hadirnya tambang, harus menjadi
pelajaran bagi pemimpin daerah. Sehingga peristiwa tersebut jangan sampai
terulang kembali
Izin tambang yang
dikeluarkan oleh sejumlah kepala daerah berbau
politis secara lugas juga diungkapkan oleh Pakar Ekonom Universitas Gajah Mada,
Revrison Baswir. Dia yang kerap kali melihat tumbuh berkembangnya pertambangan
di Indonesia
khususnya di Kaltim, menilai adanya dukungan investor pada calaon-calon tetentu
pada saat Pilkada.
“Dukungan investor pada
calon pada saat Pilkada pasti ada maunya, dan itu bukan lagi rahasia umum.
Sehingga jangan heran ketika pemimpin daerah terbelenggu dan tunduk pada
pengusaha”ujar Revrison.
Bahkan menurutnya, elit politisi
yang ada saat ini sudah menjadikan tambang menjadi bagian dari bisnisnya.
Sehingga jangan heran kalau mereka jarang bicara mengenai reklamasi lingkungan
dan kesejahterahan masyarakat sekitar.
“Silahkan survey siapa elit politik yang saat ini
tidak main pertambangan”selidik Revrison.
Devisi Hukum LSM Jaringan Tambang (Jatam) Merah Johansyah yang
hadir pula dalam diskusi tersebut memaparkan kondisi kekinian tambang di
Kaltim. Dari data yang dihimpun pada
2011-2012 di kota
Samarinda saja sudah sebanyak 6 orang
korban jiwa yang
telah merengguta nyawa di lubang galian
tambang batu bara.
Dijelaskan dia, 71 persen
Kota Samarinda telah dikapling perusahaan tambang. Dari 71.800 hektare luas Kota Samarinda, sekitar 50.742,76 hektare
dikuasai perusahaan pertambangan batubara. Data Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) menyebut 150 lubang bekas pertambangan
dibiarkan begitu saja menganga. Ironisnya kendati telah menyebabkan adanya
korban jiwa, tidak ada sanksi bagi perusahaan tambang yang yang tidak
bertanggung jawab menutup lubang itu.
Pada tahun 2005 hanya terdapat
38 izin pertambangan di Samarinda. Luas wilayah yang dikuasai perusahaan
pertambangan sekitar 20.323 hektare. Tahun 2009 jumlah izin pertambangan
meningkat menjadi 76 izin dengan luas daerah operasi 50.742,76 hektare.
Akibatnya daerah resapan air di Samarinda berkurang. Saat ini diperkirakan luas
daerah resapan air hutan hanya 1,05 persen atau sekitar 691,11 hektare dari
71.800 hektare luas Kota Samarinda.
Bahkan besama LSM lainnya,
pihaknya sedang berjuang melakukan class
action pada pemerintah Samarinda yang diduga melakukan pemberian izin pada
perusahaan tambang yang tidak bertanggung jawab, melalui Gerakan Samarinda
Menggugat (GSM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar