Rig Offshore |
Didunia internasional
hanya mengenal dua pokok dalam menunjuk pada pihak ketiga untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi migas, yakni sistem konsessi/Royalti/lisensi dan
system kontrak.
PSC (production sharing contract) adalah sistem atau model
pengelolaan sumberdaya minyak dan gas bumi yang “lahir” dari pemikiran
pendahulu kita. Bisa dikatakan, PSC ini produk jadul =jaman dulu dan “orisinal”
bangsa kita. Sejak dicetuskan pada era
1960-an sistem ini dirasa cocok bagi Indonesia dan bertahan hingga saat
ini.
Seiring waktu, sistem jadul (PSC) tersebut
selanjutnya banyak negara memberlakukan kontrak ini, antara lain Mesir,
Malaysia, Siria, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, China, Aljazair, dan Tumisu
tentunya dengan varian yang berbeda.
Konon sistem PSC lahir
dari ide presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno yang melihat ketidak adilan sistem
royalty migas saat diterapkan pada zaman Belanda. Migas yang telah dikuras dari
perut bumi, Indonesia
hanya menikmati sebagian kecil dari royalty yang diberikan oleh perusahaan
migas.
Melalui perenungan dan
pemikiran yang di sandarkan pada UUD 19945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang berda di dalam perut bumi adalah miliki Negara dan harus dipergunakan
sebesar-besranya bagi kemakmuran rakyat, Soekrano menelorkan dan merubah konsep
sistem royalty migas ke sistem Paron=bagi hasil (dalam istilah petani) atau
istilah kerennya PSC (production sharing contract).
Wartawan GE yang mendapat
kesempatan mengikuti training dalam forum diskusi migas dari BPMIGAS, mendapat penjelasan
seputar sistem kontrak antara perusahaan migas /Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) dengan pemerintah yang diwakili oleh BPMIGAS.
Diungkapkan Didik
Setiarto, bagian Hukum BPMIGAS, Pada
dasarnya, “resep” PSC diambil dari pola kerja sama dua orang petani dalam
menggarap satu lahan. Satu orang sebagai pemilik lahan, satu orang lainnya
sebagai penggarap. Hasil produksi padi
dibagi dua: masing-masing mendapatkan setengah bagian (sistem paron).
“Sistem PSC itu sangat
sederhana, ini diadopsi dari system paron yang ada di Indonesia buah pikir Soekarno.
Sangat simple” ucapnya.
Karena itu,
prinsip-prinsip kerjasama yang berlaku antara kedua orang petani itu juga
berlaku dalam sistem PSC. Dalam konteks ini, negara bertindak sebagai ‘pemilik
lahan’ dan kontraktor swasta (nasional maupun asing) sebagai penggarap atau
tukang.
“Jadi pengusaha migas itu
tak lebih dari seorang tukang dari system PSC ini”papar Didi
Hal yang harus dipahami
bersama dalam sistem PSC ini, pemerintah tidak pernah memberikan sejengkal
lahan atau wilayah kerjanya pada pengusaha. Mutlak lahan atau wilyah kerja
berada ditangan pemerintah. Beda dengan system royalty terdahulu dan pada dunia
tambang, wilayah kerja dan kandungan mineral didalamnya adalah milik pengusaha,
sehingga migas atau mineral yang ada didalamnya mutlak ditangan pengusaha dan
pemerintah tidak boleh ikut campur terhadap apa yang dilakukan dalam
berproduksi.
“Salah jika kontraktor itu
disebutkan memilki wilayah kerja, mereka hanya penggarap, tidak lebih”tegas
Didi.
Bahkan dalam sistem PSC, pengendalian
operasional kerja berada di tangan pemerintah. Segala apa yang akan digunakan
dalam produksi, kontrkator harus berkordinasi dengan pemerintah si empunya
kuasa lahan.
Mengapa Indonesia menggunakan sistem PSC
bagi perusahaan minyak, terutama bagi
Negara asing, untuk mengolah Sumber Daya Migas dibandingkan mengelola sendiri
atau BUMN?
Dengan keterbatasan dana (modal) dan
ketrampilan saat itu, masih lebih menguntungkan jika Migas di berikan
kepercayaan pada pihak luar untuk berinvestasi di Indonesia .
Industri minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi
dan penuh ketidakpastian (resiko). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa didalam
perut bumi terkandung minyak dan gas yang memiliki jumlah yang ekonomis.
Pada saat awal berdirinya republik, Negara belum
memiliki modal dan teknologi untuk mencari dan mengelola migas sendiri. Oleh
karena itu, pemerintah mengundang perusahaan asing untuk mengelola sumber daya
migas di Indonesia .
Diharapkan terjadi alih teknologi sehingga suatu saat bangsa ini bisa mengelola
migas sendiri.
“Tidak bisa rumah kantor (rukan) terjun dalam
bisnis ini. Modal yang dibutuhkan cukup besar dan belum tentu ada migasnya
ketika pengelolaan wilyah kerja sudah dimenangkan tendernya”papar Didi.
Jika sudah dalam keadaan rugi, pemerintah
tidak akan menanggung sepeserpun duit kontraktor yang baru berusaha melakukan
pencarian sumur migas baru.
“Negara tidak menangung resiko dari dana yang
telah dikeluarkan pengusaha. Dana baru diganti ketika telah ditemukan sumur dan
layak ekonomis untuk dieksplorasi migasnya”.
Namun system mana yang digunakan oleh suatu
negara dalam mengelola migasnya tentunya kembali pada pengawasan si empunya
migas. Hingga kini masih banyak Negara yang menggunakan sistem royalti, namun
pengelolaannya cukup bagus. Sedangkan untuk Indonseia yang menggunakan sistem
PSC, dirasa masih juga butuh banyak perbaikan. Beberapa point cost recovery yang tidak bersentuhan
langsung dengan upaya produksi harus dievaluasi. Kegiatan yang lebih
beroreintasi pada kegiatan ekspatriat harusnya dihapuskan. Kegiatan community
development (comdev) dan corporate social
responsibility (CSR) jangan pula
dibebankan lagi pada pemerintah. Kontraktor juga butuh didorong untuk memiliki
tanggung jawab solsal dengan menyumbang dari keuntungan bersih 15% bagi hasil pada
kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Jika hal-hal ini bisa terealsisasikan, sistem
jadul paron=PSC masih layak untuk di pertahankan, jika tidak silahkan
pemerintah memutar otak kembali untuk mencari variasi sistem ideal bagi hasil
migas kita.
Ada beberapa hal keuntungan yang diperoleh dari sistem
PSC ini, diantaranya;
Pertama, yang dibagi adalah hasil produksi (migas), bukan
berupa uang hasil penjualan produksi migas. Dalam sistem PSC, sesuai dengan
namanya: “production sharing”,
maka yang dibagi antara negara dan kontraktor adalah ‘minyak’ atau ‘gas’nya itu
sendiri, bukan uang hasil penjualan migas.
Ke
dua, pengusaha (KKKS), Kontraktor
menanggung seluruh biaya: dari mulai biaya memperoleh wilayah kerja (biaya join
study atau joint
evaluation), bonus tandatangan, biaya eksplorasi, biaya
pengembangan serta biaya produksi hingga transportasi melalui pipa – sampai
pada “titik pembagian”.
Ke
tiga, Seluruh risiko ditanggung
oleh kontraktor jika gagal maka seluruh
biaya menjadi tanggungan pengusaha migas. Pemilik lahan/negara tidak akan
dimintai ganti rugi. Di dalam PSC, jika kontraktor tidak menemukan minyak atau
gas, maka seluruh risiko ditanggung oleh kontraktor. Negara tidak ikut
menanggung biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor.
Ke
empat, seluruh sarana yang dibangun oleh kontraktor
(KKKKS) tetap menjadi milik pemerintah. Dalam PSC seluruh peralatan atau
instalasi migas menjadi milik negara, dari mulai fasilitas yang ada di sumur
pemboran, pipa, kompresor, stasiun pengumpul minyak atau gas, dan sebagainya.
Ke
lima, Di dalam PSC, negara tetap
memegang kendali managemen migas. Kontraktor harus mengajukan program dan
anggaran setiap tahun kepada pemerintah (BPMIGAS) untuk memperoleh persetujuan.
Kapan sebuah lapangan migas bisa diproduksikan secara komersial (plan of development –
POD), juga tetap menjadi kewenangan BPMIGAS.
Ke
enam, Di dalam PSC standar,
bagian bersih negara dan kontraktor masing-masing 85% dan 15%. Tetapi itu belum
termasuk cost recovery (penggantian
biaya) yang sudah diperoleh kontraktor. Jika memperhitungkan pengembalian biaya
(dengan asumsi 30%), maka bagian negara vs kontraktor menjadi sekitar 60% :
40%. Tidak jauh beda dari pembagian sistem paron oleh
petani yang konon 50%:50% pembagiannya.
Ke
tujuh, kerjasama antara kontraktor
(KKKS) dan pemilik lahan (Pemerintah) memiliki batas waktu. Biasanya 30 setahun
setelah itu, lahan dikembalikan ke pemilik. Namun
selanjutnya kontraktor boleh mengajukan perpanjangan kontrak ke pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar