Minggu, 17 Juni 2012

Manusia Gorong-Gorong


Untuk bertahan hidup dan mendapat tempat tinggal manusia melakukan berbagai cara. Hidup dibawah kolong jembatan, diatas pohon, samping rel kereta api bahkan di dalam gorong-gorong pun dijalani. Kehidupan keras membuat manusia mencari akal dan solusi. Sebagian mampu memperoleh dengan tetap tegar mempertahankan nilai-nilai nurani, namun tak sedikit yang berlebih tetap rakus memenuhi ambisi.

Negara hingga kini yang dijalankan oleh pemerintah, hanya mampu mendesign cita-cita mulia melalui teks mati berupa aturan yang kita sebut undang-undang. Pemerintah masih terlalu lamban dan malas merealisasikan memberi tempat yang layak huni bagi masyarakatnya. Padahal dari lamban dan malasnya kinerja pemerintah tersebut, tidak menutup kemungkin mempercepat proses pemiskinan rakyat Indonesia. 

Padahal amanat yang dicita-citakan undang-undang begitu mulia:
a.  bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif;

b. bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan  berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia
c.  bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Begitulah bunyi konsideran UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANGPERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN.  Yang dibaca terasa nyaman bagi semua individu masayarakat Indonesai. Namun realita, ternyata masih jauh panggang dari api. 

Seorang pekerja harian Dinas Pekerjaan Umum DKI bernama Abdul Malik (26), ternyata sanggup tinggal sekitar setahun di gorong-gorong bekas saluran air, tak jauh dari kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan. Kisahnya banyak tersiar di jejaring dunia maya internet. Sehingga menarik simpati Joko Widodo alias Jokowi  calon Gubernur Jakarta 2012-2014.

Abdul mengaku sehari-hari bekerja untuk Dinas Pekerjaan Umum DKI. Ia  membersihkan kali dan pinggirannya dari sampah, yang dapat membuat kali mengalami pendangkalan. Upah seharinya Rp 40 ribu, dibayar tiap dua minggu sekali. Hidup di Jakarta masih kurang  dari cukup dengan upah sebesar itu. Dengan upahnya, Malik harus berbagi hidup untuk membiayai istri dan anaknya yag masih berusia empat bulan, yang harus dititipkan dirumah mertuanya di bogor.

Kehadiran Jokowi yang menjelentrehkan adanya dana Rp 140 trilun DKI  untuk membangun rumah layak huni bagi kaum tidak mampu, hanya angin segar tak tersentuh buat Abdul Malik yang tidak memiliki KTP DKI. Ia hanya bermimpi, bisa bekerja dan gajian lancar sudah cukup. Istri dan anaknya sehat, sudah menjadi harta berharga ,wujud dari keringat yang ia sisihkan sebagai rasa tanggung jawab kepala keluarga.

Bertahan hidup digorong-gorong mungkin lebih nikmat daripada membayangkan tetesan Rp 140 triliun, sebuah nilai yang tak pernah dibayangkan untuk disentuh.
Penghasilan yang ia dapatkan dari membersihkan sungai memang tak cukup. Untuk mencari penghasilan tambahan, ia mencari dan mengumpulkan plastik botol minuman. Setiap tiga hari sekali, Abdul menimbang lalu hasil pungutannya dijual.

Kesederhanaan dan perjuangan Abdul Malik membuat kita harus bertrimakasih atas inspirasi kehidupannya. Kisahnya bertolak belakang dengan PNS,dan petugas bajak yang bergaji belasan juta rupiah tapi masih korup dinegeri ini. Wakil rakyat yang harusnya memperjuangankan orang seperti Abdul Malik masih banyak yang tak kebal untuk tidak  tergoda menggarong uang rakyat.

Dengan ulah mereka, mungkin nasib Abdul Malik dan orang-orang yang serupa tak pernah berkurang dinegeri ini. Dalam kemiskinan Abdul Malik ternyata masih memiliki cara untuk mempertahankan harga diri, walau hidup digorong-gorong sepi dan mengais sampah setiap hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar