Sabtu, 02 Juni 2012

Dua Rindu


Nafisah Ayu Salsabilah, putri keduaku yang lagi lucu-lucunya saat ini sering kutinggalkan. Umurnya baru mau menginjak setahun. Cantik, gesit dan enerjik putriku satu ini. Tingkah lucunya selalu membekas dalam ingatantku. Sehingga tak heran jika apa yang sedang ia ucapakan walau tak jelas, kemauannya, gayanya benar-benar aku ingat.
Satu hari disuatu sore, setelah menyelesaikan tugas ku di Kota Palu, kerinduan pada  Putriku Nafisah begitu menggebu. Kelucuanya yang beberapa hari tak kulihat seakan menyiksa dari perjalannku dari Palu ke Balikpapan. Semakin burung besi itu meninggalkan bandara, seakan kian membuncah rindu pada gadis kecilku.
Aku kadang abai, lalai padanya. Pada gadis kecilku ini, terlalu pelit aku meluangkan waktu untuk bermain. Terlalu mahal aku memberi pelukan untuk berbagi kasih dengannya. Aku begitu miskin kasih rasanya jika dekat.

Jauh ternyata mampu mengembalikan rasa kecintaan dan kerinduan. Ia memberi ruang untuk intropeksi dan evaluasi hubungan dengan siapapun. Jauh adalah sepi yang memberi arti tersendiri, menghadirkan sisi-sisi manusiawi yang kadang hilang, datang, pergi dan kembali. Pada kekasih, orang tua-anak atau sebaliknya.
Kita kadang memang membutuhkan jarak, agar kita tahu jika jauh itu membutuhkan dekat untuk menghendaki kepekaan. Dekat perlu diwujudkan dalam bentuk perhatian dan bukan sekedar sapa dan tatap.
Mendekap Nafisah dalam kepekaan kasih sayang, ternyata aku harus lebih belajar memberi lebih. Jika tidak, sayatan luka membekas dalam setiap kerinduan jauh darinya.
Ia menjadi siksaan alami yang memang Tuhan berikan pada siapapun bagi yang  bernama Ayah. Buah hati mencari jalan untuk menemui dengan berbagai cara pada hati yang dikasihi walau ber mil-mil jauhnya. Membekas dalam setiap bayang, melambai memanggil untuk pulang.
Rumah putih sepi dihadapan. tak ada suara atau tawa yang terdengar. Sunyi menambah deru rindu yang diliputi tanya, kemana buah hatiku saat itu. Pintu terbuka, suara tak ada, hening.
Tawa dan suara yang kunanti pada hitungan menit dan berganti jam juga belum ku dengar. Rumah putih tempat kami berhuni sore itu sepi.
Walau seharusnya seperti hari biasa pada jama-jam seperti itu, kedua buah hati ku sedang asyik bermain. Suaranya terdengar walau sampai didepan pintu rumah. Nafizah berlari memangil sebutan ayah, dengan hadirnya aku. Namun kali ini, panggilan nyaring dari bidadari kecil itu tak kudengar.
Setelah kumandang azhar, perlahan suara langkah kaki mendekat, nyaris tak terdengar. Aku membantin siapa pemiliknya, setelah kurapikan hamparan sejadah. Dadaku berdebar, menyambut langkah lembut sipemilik kaki tersebut. belum tiba aku melihatnya, suara nyaring menyebut kalimat ayah menghatam sanubariku.
Suara itu biasa, namun pada saat aku melihat bidadariku, dadaku serasa bergemuruh. Kain kecil putih menghiasi kening Nafizah, yang pasti itu bukan pita pemanis rupa. Bercak merah dirambut dan goresan perih dikepala ditunjukkan padaku.
Dalam getirnya menahan perih, luka berjahitan dikepala serasa tak dihiraukannya untuk menyambutku. Gadis mungil itu tetap riang berlari kecil  menghampiriku. Kerinduannya padaku  ternyata mampu melupakan nyeri dan perih dikepalanya. Dalam pelukanku yang dalam, aku dapat merasakan ada kekuatan dua rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar