Untuk bertahan hidup dan mendapat tempat tinggal
manusia melakukan berbagai cara. Hidup dibawah kolong jembatan, diatas pohon,
samping rel kereta api bahkan di dalam gorong-gorong pun dijalani. Kehidupan
keras membuat manusia mencari akal dan solusi. Sebagian mampu memperoleh dengan
tetap tegar mempertahankan nilai-nilai nurani, namun tak sedikit yang berlebih
tetap rakus memenuhi ambisi.
Negara hingga kini yang dijalankan oleh pemerintah, hanya mampu mendesign cita-cita mulia melalui teks mati berupa aturan yang kita sebut undang-undang. Pemerintah masih terlalu lamban dan malas merealisasikan memberi tempat yang layak huni bagi masyarakatnya. Padahal dari lamban dan malasnya kinerja pemerintah tersebut, tidak menutup kemungkin mempercepat proses pemiskinan rakyat Indonesia.
Padahal amanat yang dicita-citakan undang-undang begitu mulia:
a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran
yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai
salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri,
dan produktif;
b.
bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah
yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis,
dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia ;
c. bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam
menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan
permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga
merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup
sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Begitulah
bunyi konsideran UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANGPERUMAHAN
DAN KAWASAN PERMUKIMAN. Yang dibaca
terasa nyaman bagi semua individu masayarakat Indonesai. Namun realita,
ternyata masih jauh panggang dari api.
Seorang pekerja harian Dinas Pekerjaan Umum DKI bernama
Abdul Malik (26), ternyata sanggup tinggal sekitar setahun di gorong-gorong
bekas saluran air, tak jauh dari kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta
Selatan. Kisahnya banyak tersiar di jejaring
dunia maya internet. Sehingga menarik simpati Joko Widodo alias Jokowi calon Gubernur Jakarta 2012-2014.
Abdul mengaku sehari-hari bekerja
untuk Dinas Pekerjaan Umum DKI. Ia membersihkan kali dan pinggirannya
dari sampah, yang dapat membuat kali mengalami pendangkalan. Upah seharinya Rp
40 ribu, dibayar tiap dua minggu sekali. Hidup di Jakarta masih kurang dari cukup dengan upah sebesar itu. Dengan
upahnya, Malik harus berbagi hidup untuk membiayai istri dan anaknya yag masih
berusia empat bulan, yang harus dititipkan dirumah mertuanya di bogor .
Kehadiran Jokowi yang
menjelentrehkan adanya dana Rp 140 trilun DKI
untuk membangun rumah layak huni bagi kaum tidak mampu, hanya angin
segar tak tersentuh buat Abdul Malik yang tidak memiliki KTP DKI. Ia hanya
bermimpi, bisa bekerja dan gajian lancar sudah cukup. Istri dan anaknya sehat,
sudah menjadi harta berharga ,wujud dari keringat yang ia sisihkan sebagai rasa
tanggung jawab kepala keluarga.
Bertahan hidup digorong-gorong
mungkin lebih nikmat daripada membayangkan tetesan Rp 140 triliun, sebuah nilai
yang tak pernah dibayangkan untuk disentuh.
Penghasilan yang ia dapatkan dari
membersihkan sungai memang tak cukup. Untuk mencari penghasilan tambahan, ia
mencari dan mengumpulkan plastik botol minuman. Setiap tiga hari sekali, Abdul
menimbang lalu hasil pungutannya dijual.
Kesederhanaan dan perjuangan Abdul
Malik membuat kita harus bertrimakasih atas inspirasi kehidupannya. Kisahnya
bertolak belakang dengan PNS,dan petugas bajak yang bergaji belasan juta rupiah
tapi masih korup dinegeri ini. Wakil rakyat yang harusnya memperjuangankan
orang seperti Abdul Malik masih banyak yang tak kebal untuk tidak tergoda menggarong uang rakyat.
Dengan ulah mereka, mungkin nasib
Abdul Malik dan orang-orang yang serupa tak pernah berkurang dinegeri ini.
Dalam kemiskinan Abdul Malik ternyata masih memiliki cara untuk mempertahankan
harga diri, walau hidup digorong-gorong sepi dan mengais sampah setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar