Nafisah Ayu
Salsabilah, putri keduaku yang lagi lucu-lucunya saat ini sering kutinggalkan. Umurnya
baru mau menginjak setahun. Cantik, gesit dan enerjik putriku satu ini. Tingkah
lucunya selalu membekas dalam ingatantku. Sehingga tak heran jika apa yang
sedang ia ucapakan walau tak jelas, kemauannya, gayanya benar-benar aku ingat.
Satu hari disuatu
sore, setelah menyelesaikan tugas ku di Kota Palu, kerinduan pada Putriku Nafisah begitu menggebu. Kelucuanya
yang beberapa hari tak kulihat seakan menyiksa dari perjalannku dari Palu ke Balikpapan . Semakin burung
besi itu meninggalkan bandara, seakan kian membuncah rindu pada gadis kecilku.
Aku kadang abai, lalai
padanya. Pada gadis kecilku ini, terlalu pelit aku meluangkan waktu untuk
bermain. Terlalu mahal aku memberi pelukan untuk berbagi kasih dengannya. Aku
begitu miskin kasih rasanya jika dekat.
Jauh ternyata mampu
mengembalikan rasa kecintaan dan kerinduan. Ia memberi ruang untuk intropeksi
dan evaluasi hubungan dengan siapapun. Jauh adalah sepi yang memberi arti
tersendiri, menghadirkan sisi-sisi manusiawi yang kadang hilang, datang, pergi
dan kembali. Pada kekasih, orang tua-anak atau sebaliknya.
Kita kadang memang
membutuhkan jarak, agar kita tahu jika jauh itu membutuhkan dekat untuk
menghendaki kepekaan. Dekat perlu diwujudkan dalam bentuk perhatian dan bukan
sekedar sapa dan tatap.
Mendekap Nafisah dalam
kepekaan kasih sayang, ternyata aku harus lebih belajar memberi lebih. Jika
tidak, sayatan luka membekas dalam setiap kerinduan jauh darinya.
Ia menjadi siksaan
alami yang memang Tuhan berikan pada siapapun bagi yang bernama Ayah. Buah hati mencari jalan untuk
menemui dengan berbagai cara pada hati yang dikasihi walau ber mil-mil jauhnya.
Membekas dalam setiap bayang, melambai memanggil untuk pulang.
Rumah putih sepi
dihadapan. tak ada suara atau tawa yang terdengar. Sunyi menambah deru rindu
yang diliputi tanya, kemana buah hatiku saat itu. Pintu terbuka, suara tak ada,
hening.
Tawa dan suara yang
kunanti pada hitungan menit dan berganti jam juga belum ku dengar. Rumah putih
tempat kami berhuni sore itu sepi.
Walau seharusnya
seperti hari biasa pada jama-jam seperti itu, kedua buah hati ku sedang asyik
bermain. Suaranya terdengar walau sampai didepan pintu rumah. Nafizah berlari
memangil sebutan ayah, dengan hadirnya aku. Namun kali ini, panggilan nyaring
dari bidadari kecil itu tak kudengar.
Setelah kumandang
azhar, perlahan suara langkah kaki mendekat, nyaris tak terdengar. Aku
membantin siapa pemiliknya, setelah kurapikan hamparan sejadah. Dadaku
berdebar, menyambut langkah lembut sipemilik kaki tersebut. belum tiba aku
melihatnya, suara nyaring menyebut kalimat ayah menghatam sanubariku.
Suara itu biasa, namun
pada saat aku melihat bidadariku, dadaku serasa bergemuruh. Kain kecil putih
menghiasi kening Nafizah, yang pasti itu bukan pita pemanis rupa. Bercak merah
dirambut dan goresan perih dikepala ditunjukkan padaku.
Dalam getirnya menahan perih,
luka berjahitan dikepala serasa tak dihiraukannya untuk menyambutku. Gadis
mungil itu tetap riang berlari kecil
menghampiriku. Kerinduannya padaku
ternyata mampu melupakan nyeri dan perih dikepalanya. Dalam pelukanku
yang dalam, aku dapat merasakan ada kekuatan dua rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar